
Film Merah Putih
Jakarta — Harapan besar untuk menghadirkan film Merah Putih animasi nasional bertema kebangsaan bertepatan dengan HUT ke-80 Republik Indonesia justru berubah menjadi polemik film Merah Putih: One For All, film garapan Perfiki Kreasindo di bawah Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, mendapat gelombang kritik dari publik, warganet, pelaku industri, hingga anggota DPR RI.
Pemicunya bukan pada pesan moral cerita, melainkan pada kualitas visual dan penggunaan anggaran yang memantik tanda tanya.
Proyek Besar yang Jadi Sorotan
Film Merah Putih: One For All awalnya dipromosikan sebagai karya animasi yang akan membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan penonton muda. Mengangkat kisah persatuan dengan karakter dari berbagai latar belakang etnis, film ini diharapkan menjadi media edukasi sekaligus hiburan.
Rencananya, film ini tayang pada Agustus 2025, tepat pada perayaan HUT ke-80 RI.
Namun, cuplikan trailer yang dirilis ke publik justru memunculkan reaksi sebaliknya. Banyak penonton menilai visual animasi terasa kaku, tekstur karakter kurang detail, dan ekspresi wajah minim variasi. Di era industri animasi global yang semakin kompetitif, penampilan ini dinilai jauh dari standar layar lebar.

Fakta-Fakta Utama Kontroversi
-
Tanggal dan Momen Penayangan
-
Dijadwalkan tayang pada Agustus 2025, bersamaan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
-
Menargetkan pasar domestik, khususnya pelajar dan generasi muda.
-
-
Produksi dan Anggaran
-
Diproduksi oleh Perfiki Kreasindo di bawah Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail.
-
Menghabiskan dana sekitar Rp 6,7 miliar.
-
Besarnya anggaran menimbulkan perdebatan karena dinilai tidak sebanding dengan hasil akhir.
-
-
Kritik dari DPR RI
-
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, menyebut film bertema kebangsaan harus memenuhi standar kualitas tinggi.
-
Menegaskan bahwa karya ini membawa nama besar “Merah Putih” yang melekat pada sejarah bangsa.
-
-
Bantahan Dukungan Dana Pemerintah
-
Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, memastikan Kemenparekraf tidak memberikan dana atau promosi.
-
Keterlibatan pemerintah hanya sebatas audiensi dan pemberian masukan teknis.
-
-
Sikap Badan Perfilman Indonesia (BPI)
-
Ketua BPI, Gunawan Paggaru, mendukung pembatalan penayangan jika film belum layak rilis.
-
Menilai kritik publik penting sebagai pembelajaran.
-
-
Reaksi Publik dan Media Sosial
-
Potongan trailer viral di X (Twitter) dan Instagram dengan komentar bernada sindiran.
-
Muncul seruan agar KPK menelusuri penggunaan dana produksi.
-
Gelombang Kritik dari Senayan
Parlemen menanggapi serius fenomena ini. Lalu Hadrian Irfani dari Komisi X DPR RI menilai bahwa proyek seperti Merah Putih: One For All tidak boleh asal jadi, apalagi membawa embel-embel perjuangan bangsa. “Kita harus hati-hati menggunakan simbol kebangsaan. Kalau dieksekusi buruk, yang rusak bukan hanya filmnya, tetapi juga pesan yang dibawa,” ujarnya.
Pernyataan ini sejalan dengan kekhawatiran bahwa kegagalan teknis dapat mereduksi semangat yang seharusnya dibangkitkan. Bagi anggota DPR, film bukan hanya hiburan, tetapi juga media pendidikan dan diplomasi budaya.
Pemerintah Membantah Isu Pendanaan
Di tengah kabar bahwa film ini mendapatkan dana pemerintah, Irene Umar, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, memberikan klarifikasi tegas. “Tidak ada dana dari Kemenparekraf untuk proyek ini. Kami hanya bertemu untuk memberikan masukan terkait cerita, klasifikasi usia, dan trailer,” katanya.
Bantahan ini diharapkan meredakan tuduhan bahwa dana publik digunakan secara tidak transparan. Namun, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya meredam kritik, karena publik tetap mempertanyakan efektivitas penggunaan dana swasta yang cukup besar.
Badan Perfilman Indonesia Dorong Evaluasi
Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengambil posisi kritis. Gunawan Paggaru, ketua BPI, menyatakan dukungan terhadap pembatalan penayangan jika memang kualitas belum memenuhi syarat. “Lebih baik ditunda dan diperbaiki daripada memaksa tayang dan menuai cemoohan,” ucapnya.
BPI menilai peristiwa ini sebagai momentum refleksi bagi para pelaku industri kreatif. Kritik, meskipun keras, seharusnya dijadikan bahan untuk meningkatkan kualitas produksi di masa depan.
Reaksi Warganet: Dari Meme hingga Seruan Audit
Di media sosial, reaksi publik lebih ekspresif. Potongan gambar dari trailer film ramai dijadikan bahan meme, dengan komentar yang menyindir kelemahan animasi. Sejumlah akun bahkan menyerukan investigasi terhadap anggaran produksi, dengan tuduhan adanya indikasi penyelewengan.
Hashtag seperti #MerahPutihOneForAll dan #FilmRp6Miliar sempat menjadi trending, menandakan luasnya jangkauan perbincangan publik. Sentimen yang muncul mayoritas negatif, tetapi ada pula warganet yang menyerukan dukungan terhadap industri animasi lokal, dengan catatan perbaikan kualitas mutlak dilakukan.
Potensi dan Tantangan Animasi Indonesia
Meski menuai kritik, konsep cerita Merah Putih: One For All dinilai punya potensi. Ide untuk memadukan karakter fiksi dari berbagai latar etnis sebagai simbol persatuan merupakan gagasan kreatif yang layak diapresiasi. Sayangnya, kelemahan di tahap eksekusi membuat pesan moral yang ingin disampaikan kurang maksimal.
Bagi industri animasi Indonesia, kasus ini menjadi pengingat bahwa pengembangan teknologi, pelatihan sumber daya manusia, dan manajemen proyek adalah kunci. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa animasi bisa menjadi komoditas ekspor bernilai tinggi, asalkan didukung investasi jangka panjang dan standar produksi yang ketat.
Pelajaran untuk Industri Kreatif Nasional
Beberapa pengamat menilai, kegagalan teknis di film ini bukan semata soal keterbatasan dana, tetapi juga manajemen produksi. Transparansi anggaran, keterlibatan tim kreatif berpengalaman, serta uji kelayakan sebelum rilis adalah prosedur yang seharusnya menjadi standar.
Selain itu, dukungan publik perlu diarahkan pada kritik yang membangun. Penonton Indonesia semakin cerdas dan peka terhadap kualitas. Keterbukaan pembuat film terhadap masukan akan menentukan kelangsungan industri ini.