Oleh: Syaiful Anwar.AB
Purnatugas FEB UNIB
Pemerintahan baru, Kabinet Merah Putih, telah meluncurkan program ambisius bernama Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini, yang sejak awal didengungkan oleh Presiden Prabowo saat kampanye, kini resmi dijadikan salah satu program unggulan pemerintah. MBG disambut dengan penuh antusias oleh masyarakat yang menaruh harapan besar pada upaya ini untuk mengatasi permasalahan stunting di Indonesia.
Setelah berbagai diskusi panjang mengenai sasaran program, akhirnya diputuskan bahwa MBG akan difokuskan pada anak sekolah, mulai dari jenjang SD hingga SLTA. Selain itu, program ini juga mencakup ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita, dengan tujuan utama meningkatkan status gizi mereka melalui penyediaan makanan bergizi sesuai standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) harian.
Namun, program ini tidak hanya sebatas penyediaan makanan. Sosialisasi dan edukasi gizi menjadi bagian penting dari MBG, bertujuan untuk mendorong masyarakat memahami pentingnya pola makan sehat dan gizi seimbang. Dengan pendekatan ini, kebiasaan baik diharapkan dapat tertanam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tak hanya itu, MBG juga mengusung konsep pemberdayaan ekonomi lokal dengan memprioritaskan bahan pangan dari petani, nelayan, dan UMKM setempat.
Konsep Besar, Tantangan Besar
Secara konseptual, MBG adalah program besar yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga daerah. Pemerintah telah membentuk Badan Gizi Nasional sebagai otoritas utama pengelola program ini, dengan dukungan pemerintah daerah sebagai pelaksana di lapangan. Pemerintah daerah diharapkan menjadikan MBG sebagai program unggulan demi kesuksesan implementasinya.
Khusus untuk sekolah, peran institusi pendidikan sangat strategis. Program MBG tidak hanya bertujuan meningkatkan gizi siswa, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kedisiplinan, kerjasama, dan penghargaan antar siswa melalui kegiatan makan bersama. Konsep makan bersama ala asrama taruna dapat diadopsi untuk menciptakan efek positif yang lebih besar bagi peserta didik.
Belajar dari Posyandu: Menghidupkan Kembali Model Terintegrasi
MBG juga dapat mengadopsi model yang sudah terbukti efektif di masa lalu, seperti Posyandu. Pos Pelayanan Terpadu ini dahulu menjadi wadah bagi edukasi kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, hingga promosi pola makan sehat dengan jargon “empat sehat lima sempurna.” Posyandu juga mencakup program makanan tambahan untuk anak sekolah dasar berupa susu, telur, dan bubur kacang hijau. Jika pendekatan ini dihidupkan kembali, dampaknya terhadap penurunan angka stunting akan sangat signifikan.
Stunting: Masalah Sistemik yang Butuh Solusi Terpadu
Namun, menyelesaikan stunting bukan hanya soal menyediakan makanan bergizi. Stunting adalah masalah kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut UNICEF (2008) dan Bappenas (2013), penyebab langsung stunting meliputi asupan gizi yang tidak mencukupi dan penyakit infeksi. Sementara itu, penyebab tidak langsung mencakup pola asuh yang kurang baik, akses pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi, dan lainnya.
Dengan demikian, upaya mengatasi stunting harus bersifat sistemik dan menyeluruh. Program MBG hanyalah satu bagian dari solusi besar yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor, edukasi masyarakat, dan komitmen bersama.
Melalui program ini, harapan masyarakat begitu besar, namun pelaksanaannya perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa target yang dicanangkan dapat tercapai. Semoga MBG benar-benar menjadi langkah awal menuju Indonesia bebas stunting.
Salam,
Syaiful Anwar.AB